Jenis tarian Jawa Tengah Tradisional :
a) Kuda Lumping
Tema : berisi unsur hiburan, religi, unsur ritual.
Kuda Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda
tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun
catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat
verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konon, tari Kuda Lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan
rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam
menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari
Kuda Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu
oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan
bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram
yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi
pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari Kuda Lumping
merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan
berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis,
dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan
layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi
yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti
atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri,
berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini
merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di
lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang
dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.Sajak-sajak yang dibawakan
dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia
senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Gerak tari : Dalam setiap pagelarannya, tari Kuda Lumping ini
menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari
Senterewe, dan tari Begon Putri.
Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan
terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi
kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian
inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami kesurupan atau kerasukan
roh halus. Para penonton pun tidak luput dari fenomena kerasukan ini.
Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan
ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus
menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari
lainnya.
Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan,
dalam setiap pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang
memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui
baju serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan
penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.
Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam
orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup
dari seluruh rangkaian atraksi tari Kuda Lumping.
Jenis Instrument : Kendang, Kenong, Gong, dan Slompret.
b) Jathilan :
Jatilan adalah salah satu jenis tarian rakyat yang bila ditelusur
latar belakang sejarahnya termasuk tarian yang paling tua di Jawa.
Tari yang selalu dilengkapi dengan property berupa kuda kepang ini
lazimnya dipertunjukkan sampai klimaksnya, yaitu keadaan tidak sadar
diri pada salah seorang penarinya.
Penari jatilan dahulu hanya berjumlah 2 orang tetapi sekarang bisa
dilakukan oleh lebih banyak orang lagi dalam formasi yang berpasangan.
Tarian jatilan menggambarkan peperangan dengan naik kuda dan
bersenjatakan pedang.
Selain penari berkuda, ada juga penari yang tidak berkuda tetapi memakai topeng.
Di antaranya adalah penthul, bejer, cepet, gendruwo dan barongan.
Reog dan jatilan ini fungsinya hanya sebagai tontonan/hiburan, ini agak
berbeda dengan fungsi reog pada zaman dahulu yang selain untuk tontonan
juga berfungsi sebagai pengawal yang memeriahkan iring-iringan temanten
atau anak yang dikhitan serta untuk kepentingan pelepas nadzar atau
midhang kepasar.
Anggota penari : Terdapat sekitar 35 orang dan terdiri dari laki-laki
dengan perincian: penari 20 orang; penabuh instrumen 10 orang; 4 orang
penjaga keamanan/ pembantu umum untuk kalau ada pemain yang mengalami
trance; dan 1 orang sebagai koordinator pertunjukan (pawang).
Para penari menggunakan property pedang yang dibuat dari bambu dan menunggang kuda lumping.
Di antara para penari ada yang memakai topeng hitam dan putih, bernama
Bancak (Penthul) untuk yang putih, dan Doyok (Bejer/Tembem) untuk yang
hitam.
Kedua tokoh ini berfungsi sebagai pelawak, penari dan penyanyi untuk
menghibur prajurit berkuda yang sedang beristirahat sesudah
perang-perangan.
Ketika menari para pemain mengenakan kostum dan tata rias muka yang realistis.
Ada juga group yang kostumnya non-realistis terutama pada tutup kepala; karena group ini memakai irah-irahan wayang orang.
Pada kostum yang realistis, tutup kepala berupa blangkon atau iket (udeng) dan para pemain berkacamata gelap, umumnya hitam.
Selama itu ada juga baju/kaos rompi, celana panji, kain, dan stagen dengan timangnya.
Puncak tarian Jatilan ini kadang-kadang diikuti dengan keadaan mencapai
trance (tak sadarkan diri tetapi tetap menari) pada para pemainnya.
Sebelum pertunjukan Jatilan dimulai biasanya ada pra-tontonan berupa tetabuhan dan kadang-kadang berupa dagelan/ lawakan.
Kini keduanya sudah jarang sekali ditemui.
Pertunjukan ini bisa dilakukan pada malam hari, tetapi umumnya diadakan pada siang hari.
Pertunjukan akan berlangsung selama satu hari apabila pertunjukannya
memerlukan waktu 2 jam per babaknya, dan pertunjukan ini terdiri dari 3
babak.
Bagi group yang untuk 1 babak memerlukan waktu 3 jam maka dalam sehari
dia hanya akan main 2 babak. Pada umumnya permainan ini berlangsung dari
jam 09.00 sampai jam 17.00, termasuk waktu istirahat. Jika pertunjukan
berlangsung pada malam hari, maka pertunjukan akan dimulai pada jam
20.00 dan berakhir pada jam 01.00 dengan menggunakan lampu petromak.
Tempat pertunjukan berbentuk arena dengan lantai berupa lingkaran dan lurus.
Instrumen : kendang, bendhe, gong, gender, saron, kepyak
c) Kethek Ogleng :
Kethek Ogleng merupakan salah satu bentuk kesenian rakyat yang masih
berkembang dengan bentuk yang beragam di Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah.
kisahnya menceritakan seekor kera jelmaan raden gunung sari dalam
cerita panji dalam upaya mencari dewi sekartaji yang menghilang dari
istana.untuk mengelabuhi penduduk agar bebas keluar masuk desa dan
hutan,maka raden gunung sari menjelma jadi seekor kera putih yang lincah
dan lucu.
Tari Kethek Ogleng ini dalam mengekspresikannya menggambarkan
gerak-gerik sekelompok kera putih.dalam tarian ini terlintas ungkapan
kelincahan,kebersamaan,semangat,kelucuan dan atraktif.
Iringannya menggunakan instrumen gamelan jawa,alat perkusi tradisional
dan penggaran olah vokal yang tetap menghadirkan rasa dan nuansa
kerakyatan.
Sekilas Cerita asal usul Kethek Ogleng :
Kethek Ogleng adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku
kethek (kera). Tarian ini ditarikan oleh masyarakat Desa Tokawi
Kecamatan Nawangan bertahun-tahun lamanya. Biasanya tarian ini
dipentaskan pada waktu hajatan masyarakat setempat. Tarian Kethek Ogleng
ini berasal dari sebuah cerita Kerajaan Jenggala dan Kediri.
Raja Jenggala mempunyai seorang putri bernama Dewi Sekartaji dan
Kerajaan Kediri mempunyai seorang putra bernama Raden Panji
Asmorobangun. Kedua insan ini saling mencintai dan bercita-cita ingin
membangun kehidupan yang harmonis dalam sebuah keluarga. Hal ini membuat
keduanya tidak dapat dipisahkan.
Namun, raja Jenggala, ayahanda Dewi Sekartaji, mempunyai keinginan untuk
menikahkan Dewi Sekartaji dengan pria pilihannya. Ketika Dewi Sekartaji
tahu akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan ayahandanya-yang tentunya
tidak dia cintai, dia diam-diam meninggalkan Kerajaan Jenggala tanpa
sepengetahuan sang ayahanda dan seluruh orang di kerajaan. Malam hari,
sang putri berangkat bersama beberapa dayang menuju ke arah barat.
Di Kerajaan Kediri, Panji Asmorobangun yang mendengar berita
menghilangnya Dewi Sekartaji memutuskan untuk nekad mencari Dewi
Sekartaji, sang kekasih. Di perjalanan, Panji Asmorobangun singgah di
rumah seorang pendeta. Di sana Panji diberi wejangan agar pergi ke arah
barat dan dia harus menyamar menjadi kera. Sedangkan di lain pihak, Dewi
Sekartaji ternyata telah menyamar menjadi Endang Rara Tompe.
Setelah Endang Rara Tompe naik turun gunung, akhirnya rombongan Endang
Rara Tompe, yang sebenarnya Dewi Sekartaji, beristirahat di suatu daerah
dan memutuskan untuk menetap di sana. Ternyata kethek penjelmaan Panji
Amorobangun juga tinggal tidak jauh dari pondok Endang Rara Tompe. Maka,
bersahabatlah mereka berdua. Meski tinggal berdekatan dan bersahabat,
Endang Rara Tompe belum mengetahui jika kethek yang menjadi sahabatnya
adalah Panji Asmorobangun, sang kekasih, begitu juga dengan Panji
Asmorobangun, dia tidak mengetahui jika Endang Rara Tompe adalah Dewi
Sekartaji yang selama ini dia cari.
Setelah persahabatan antara Endang Rara Tompe dan kethek terjalin begitu
kuatnya, mereka berdua membuka rahasia masing-masing. Endang Rara Tompe
merubah bentuknya menjadi Dewi Sekartaji, begitu juga dengan kethek
sahabat Endang Rara Tompe. Kethek tersebut merubah dirinya menjadi Raden
Panji Asmorobangun. Perjumpaan antara Dewi Sekartaji dan Raden Panji
Asmorobangun diliputi perasaan haru sekaligus bahagia. Akhirnya, Dewi
Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun sepakat kembali ke kerajaan
Jenggala untuk melangsungkan pernikahan.
d) Sintren :
Sintren adalah kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Pekalongan.
Sejarah : Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki
Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono
memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun
hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya
R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun
demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui
alam gaib.
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh
bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang
bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah
pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap
diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari
oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang
penari masih dalam keadaan suci (perawan).
Bentuk pertunjukan : Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci,
dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam
perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi
dengan penari pendamping dan bodor (lawak).
Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain
dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi
Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar
berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan
membawakan tarian lebih lincah dan mempesona.
Instrumen : gamelan khas laras slendro
e) Tari Jlantur :
Sebuah tarian yang dimainkan oleh 40 orang pria dengan memakai ikat
kepala gaya turki. Tariannya dilakukan dengan menaiki kuda kepang dengan
senjata tombak dan pedang. Tarian ini menggambarkan prajurit yang akan
berangkat ke medan perang, dahulu merupakan tarian penyalur semangat
kepahlawanan dari keturunan prajurit Diponegoro.